Hukum Menyentuh kulit wanita non
muhrim tanpa penghalang adalah haram
Meskipun dengan penghalang namun
dengan syahwat itupun hukumnya haram
Hal itu dijelaskan dalam kitab
sullamut taufiq
Diantara yang termasuk dalam maksiat
tangan adalah : menyentuh wanita yang bukan muhrim tanpa penghalang atau dengan
penghalang namun dengan nafsu syahwat
Ini juga landasan kenapa pacaran
kurang pantas dilakukan oleh remaja muslim , salah satunya adalah karena orang
pacaran identik dengan pegangan tangan, gandengan, minimal ada sentuhan kulit
antara keduanya. dan ini mutlak haram hukumnya.
Rasulullah saw bersabda :
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ
أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ
تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan
jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak
halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani)
Bersalaman
Timbul masalah, bagaimana cara
bersalaman dengan wanita yang bukan muhrim misal sewaktu idul fitri ?
jawab : Tetap haram bersalaman
dengan wanita bukan muhrim , karena keduanya menempelkan kulit. kalau mau bersalaman
caranya adalah dengan menelungkupkan kedua telapak tangan dan diletakkan di
depan dada. Dengan demikian keduanya terhindar dari bersalaman sentuhan kulit.
Wallahu a’lam
Disimpan dalam Akhlak, Fiqih Dikaitkatakan dengan haram menyentuh wanita bukan muhrim, larangan menyentuh kulit wanita non muhrim, sullamut taufiq
Syarat2 nya :
1. Tertib, atau urut ayat2 nya
2. Berkelanjutan artinya tidak boleh
diselingi dengan hal lain
3. Menjaga tasydid
4. Tidak keliru yang merubah artinya
5. Bacaannya bisa didengar oleh
telinganya sendiri
6. Tidak diselingi dengan dzikir
yang lain
Sumber : Al Mabadiul Fiqhiyah juz 3
hal 22
Rukun Shalat ada 13 , yaitu :
1. Niat yang berbarengan dengan
Takbiratul Ihram
2. Berdiri bagi yang mampu untuk
shalat fardlu
3. Takbiratul Ihram
4.Membaca Alfatihah
5. Ruku dengan thumaninah
6.I’tidal dengan thumaninah
7. Sujud dua kali dengan thumaninah
8. Duduk diantara dua sujud dengan
Thumaninah
9. Duduk akhir
10 Membaca Tasyahud atau Tahiyyaat
akhir pada duduk akhir
11. Shalawat atas Nabi saw pada
duduk akhir
12. Salam yang pertama
13. Tertib
Sumber : Al Mabadiul Fiqhiyah juz 3
hal 21
Sujud Sahwi adalah sujud dua kali
setelah tahiyyat akhir dan sebelum salam
Sebab2 sujud sahwi :
- Meninggalkan sebagian dari sunnah ab’adl shalat *
- Melakukan sesuatu karena lupa ,yang sesuatu tsb membatalkan shalat apabila dilakukan dengan sengaja seperti berbicara sedikit karena lupa
- Ragu-ragu di dalam rakaat shalat, Maka apabila ragu2 di jumlah rakaat shalat tentukan rakaat yang yaqin , sempurnakan shalat kemudian melakukan sujud sahwi
- Memindah Rukun Qauli ** yang tidak membatalkan di selain tempat nya seperti mengulang membaca Al-fatihah di dalam ruku’, sujud, atau saat duduk
Keterangan :
* Sunnah Ab’adl ada 7 :
- Duduk tahiyyat awal
- Membaca bacaan Tahiyyat awal
- Membaca shalawat atas Nabi pada tahiyyat awal
- Membaca Shalawat atas keluarga Nabi pada tahiyyat akhir
- Membaca doa qunut pada shalat shubuh dan shalat witir pada setengah akhir bulan ramadhan
- Berdiri untuk membaca doa qunut
- Membaca shalawat atas Nabi , keluarga Nabi dan Shahabat Nabi di dalam doa qunut
** Rukun Qauli adalah rukun
pengucapan ataurukun yang diucapkan oleh lisan, ada 5 yakni:
1. Takbiratul Ihram
2.Membaca Al fatihah
3. Membaca Tahiyyat Akhir pada duduk
terakhir
4. Membaca shalawat pada duduk
terakhir
5. Membaca salam yang pertama
Untuk Rukun qauli , ketika
mengucapkan atau membaca suaranya harus bisa didengar oleh telinga sendiri
apabila hanya di hati atau hanya berbisik pelan yang telinga sendiri tidak
mendengarnya maka tidak sah rukun qauli nya
Sumber : Al Mabadil Fiqhiyah Juz 3
hal 24
Sunnah
sebelum shalat :
- Adzan untuk shalat lima waktu kecuali di waktu shubuh karena sunnah adan dua kali sebelum shubuh yang pertama di pertengahan malam dan yang kedua setelah terbit fajar
- Iqamat
- Siwak , siwak sunnah di tiap2 waktu shalat kecuali sesudah zawal untk orang yang berpuasa
- Terdapat sutroh untuk mencegah orang lewat di depannya
Sunnah
saat shalat, dibagi 2
sunnah ab’adl dan sunnah haiat:
A. Sunnah Ab’adl shalat , ada
7 , yang siapa saja meninggalkannya maka diganti dengan sujud sahwi , yakni :
- Duduk tahiyyat awal
- Membaca bacaan Tahiyyat awal
- Membaca shalawat atas Nabi pada tahiyyat awal
- Membaca Shalawat atas keluarga Nabi pada tahiyyat akhir
- Membaca doa qunut pada shalat shubuh dan shalat witir pada setengah akhir bulan ramadhan
- Berdiri untuk membaca doa qunut
- Membaca shalawat atas Nabi , keluarga Nabi dan Shahabat Nabi di dalam doa qunut
B. Sunnah
Haiat shalat, ada banyak
diantaranya :
- Mengangkat kedua tangan setentang bahu saat takbiratul ihram , saat hendak ruku’ , saat bangun dari ruku’, dan saat bangun dari tahiyyat awal
- Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada
- Membaca doa iftitah
- Membaca ta’awudz
- Membaca Surat setelah Alfatihah selain makmum , karena makmum mendengarkan bacaan imamnya
- Mengeraskan suara pada tempat nya dan menyamarkan suara pada tempatnya
- Membaca takbir keras dan pelan
- Membaca tasbih di dalam ruku dan sujud
- Membaca amin (setelah Alfatihah)
- Membaca (“sami’allahu liman hamidah”) pada saat I’tidal
- Duduk Iftirasy di semua duduk
- Duduk tawarruk pada duduk terakhir (tahiyyat akhir)
- Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha di dalam tasyahud , tangan kiri terbuka dan tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk
- Membaca salam yang kedua
Sumber : Al Mabadil Fiqhiyah Juz 3
hal 23
Disusun Oleh Ustadz Umar Abdul
Jabbar
Tanya : Apakah Islam ?
Jawab : Islam yaitu Agama yang Allah mengutus Nabi Muhammad dengannya untuk hidayah manusia dan kebahagiannya
Jawab : Islam yaitu Agama yang Allah mengutus Nabi Muhammad dengannya untuk hidayah manusia dan kebahagiannya
Tanya : Berapakah Rukun Islam ?
Jawab : Rukun Islam ada lima : Yang pertama Menyaksikan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan adalah Nabi Muhammad utusan Allah,
Yang kedua Mendirikan Shalat, Yang ketiga Membayar zakat, Yang keempat Puasa Ramadlan, Yang kelima Haji ke Baitullah bagi yang Mampu
Jawab : Rukun Islam ada lima : Yang pertama Menyaksikan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan adalah Nabi Muhammad utusan Allah,
Yang kedua Mendirikan Shalat, Yang ketiga Membayar zakat, Yang keempat Puasa Ramadlan, Yang kelima Haji ke Baitullah bagi yang Mampu
Tanya : Apa makna “Asyhadu An Laa
ilaaha Illallah” ?
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesungguhnya Allah itu satu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya dan dalam kekuasaan-Nya
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesungguhnya Allah itu satu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya dan dalam kekuasaan-Nya
Tanya : Apa makna “Asyhadu Anna
Muhammadan Rasulullah”?
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesunguhnya Sayyidina Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh makhluk dan wajib mentaati apa yang diperintahnya dan
membenarkan apa yang dikabarkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya
Jawab : Maknanya adalah bahwa saya meyakini sesunguhnya Sayyidina Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh makhluk dan wajib mentaati apa yang diperintahnya dan
membenarkan apa yang dikabarkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya
Disimpan dalam Fiqih Dikaitkatakan dengan Fiqih,
Hadats kecil, Mabadiul fiqhiyah, Makna Syahadat, Membatalkan Wudlu, Niat Wudlu, rukun islam, rukun wudlu, shalat, Umar Abdul Jabar
Di dalam madzhab syafi’i sudah jelas
hukumnya, bahwa hukum menyentuh mushaf Al-Qur’an tanpa berwudlu adalah haram
karena dalilnya ayat dan haditsnya
jelas
Namun belakangan ini muncul paham2
yang mengatakan tidak apa2 menyentuhnya tanpa berwudlu dan tidak haram meskipun
kita tidak punya wudlu
Untuk menjawab ini saya akan
kemukakan dalil-dalil kitab Madzhab Syafi’i yang menunjukkan bahwa menyentuh
Mushaf Al-qur’an tanpa berwudlu adalah tidak boleh dan haram hukumnya
Dalil
pertama
Menurut Kitab Al-Mabadiul Fiqhiyah
karangan Ustadz Abdul Jabbar juz 3 , hal 18 :
Apa saja yang diharamkan atas orang
yang berhadats kecil :
1. Shalat
2. Twafaf
3. Menyentuh Mushaf (Al-qur’an )dan
membawanya
lebih jelas lagi dijelaskan
Al-Mabadiul Fiqhiyah juz 4, hal 15 :
Apa yang haram dengan orang yang
berhadats kecil :
1. Shalat, karena sabda Nabi Saw :
Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (berwudlu)
2. Thawaf , karena sabda Nabi saw :
Sesungguhnya thawaf di Baitullah adalah shalat
3. Menyentuh Mushaf
(Al-qur’an) dan membawanya , Karena firman Allah ta’ala : Tidak boleh
menyentuhnya (Al-qur’an) kecuali orang-orang yang suci, dan sabda Nabi saw :
Tidak boleh menyentuh Al-qur’an kecuali orang yang suci
Disimpan dalam Aqidah, Fiqih, Hadits Dikaitkatakan dengan Al-Qur'an, Attibyan, Fathul Mu'in, hukum menyentuh al qur'an, hukum menyentuh mushaf, hukum menyentuh mushaf alqur'an bagi yang berhadats, Imam An nawawi, Imam Nawawi, Imam Nawawi Banten, Kasyifatus saja, Mabadiul fiqhiyah, madzhab syafi'i, Minhajul Qawim, Mushaf, Mushaf Al-qur'an, Safinatun naja, Syekh Nawawi, Tafsir Al jalalain, Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, wajib berwudlu
Didalam kitab mabadiul Fiqhiyyah juz
3 halaman 32 dijelaskan mengenai shalat Jumat
Shalat Jumat : Hukumnya Fardlu ‘ain
atas setiap muslim yang mukallaf , laki-laki, sehat dan mampu
Syarat-syarat Sah Shalat Jumat :
1. Didirikan di satu negara atau satu desa
2. Jumlah jamaahnya minimal empat puluh orang
3. pelaksanaan seluruhnya pada waktu dzuhur
4. Didahului oleh dua khutbah
5. Tidak didahului atau bersamaan dengan shalat jumat lain di negara(daerah) tersebut
Syarat-syarat Sah Shalat Jumat :
1. Didirikan di satu negara atau satu desa
2. Jumlah jamaahnya minimal empat puluh orang
3. pelaksanaan seluruhnya pada waktu dzuhur
4. Didahului oleh dua khutbah
5. Tidak didahului atau bersamaan dengan shalat jumat lain di negara(daerah) tersebut
*) keterangan : Mukallaf adalah
seorang yang sudah dibebani hukum syariat agama, dalam artian sudah baligh dan
berakal sehat
Rukun dua Khutbah :
1. Khutbah harus dilakukan dengan keadaan suci dari kedua hadats (besar maupun kecil)
2. Pakaian, badan dan tempatnya harus suci dari najis
3. Harus menutup aurat
4. Melakukan khutbah dalam keadaan berdiri jika mampu
5. Duduk diantara dua khutbah dengan lama waktu perkiraan thumaninah
6. Mengeraskan khutbah agar didengar oleh empat puluh orang
7. Harus berkelanjutan antara dua khutbah, diam diantara keduanya dan shalat
1. Khutbah harus dilakukan dengan keadaan suci dari kedua hadats (besar maupun kecil)
2. Pakaian, badan dan tempatnya harus suci dari najis
3. Harus menutup aurat
4. Melakukan khutbah dalam keadaan berdiri jika mampu
5. Duduk diantara dua khutbah dengan lama waktu perkiraan thumaninah
6. Mengeraskan khutbah agar didengar oleh empat puluh orang
7. Harus berkelanjutan antara dua khutbah, diam diantara keduanya dan shalat
Udzur meninggalkan Shalat Jumat :
Gugur kewajiban shalat Jumat dengan sebab sakit, dan hujan yang sangat deras
Gugur kewajiban shalat Jumat dengan sebab sakit, dan hujan yang sangat deras
Saya menemukan situs di link ini
yang menyatakan bahwa hadits mengusap muka setelah berdoa adalah hadits dla’if
dan tidak bisa dijadikan pegangan , dalam situs tersebut :
Telah diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab, ia berkata :
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya. [Riwayat : Imam Tirmidzi]
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya. [Riwayat : Imam Tirmidzi]
Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya
ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.
1. Dia ini telah dilemahkan oleh
Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
2. Imam Al-Hakim dan Nasa’i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]
2. Imam Al-Hakim dan Nasa’i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]
Sebelum membaca situs ini sebelumnya
saya sudah membuka kitab bulughul maram , setelah membaca situs itu saya
kembali membuka kitab tersebut yang sekarang ada di depan saya, saya
mengerinyitkan kening karena di kitab bulughul maram dikatakan hadits hasan
dan bukan hadits dlaif
Tepatnya ada di halaman 312 hadits
ke 1581 , kitab Bulughul Maram karangan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :
“Dan dari Umar Ra berkata :
Rasulullah saw apabila memanjangkan(mengangkat) kedua tangannya di dalam berdoa
beliau tidak mengembalikan(menurunkan) kedua tangannya sehigga beliau mengusap
wajahnya dengan kedua tangannya ” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad . Dan termasuk
yang menyaksikan(mengeluarkan) diantaranya :
di akhir hadits nomor tersebut ada
keterangan bahwa ada hadits lain di nomor berikutnya yang diriwayatkan oleh
Imam lain
Hadits selanjutnya yakni nomor 1582
:
1582.
Hadits dari Ibnu Abbas Ra diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya, menyimpulkan
dan memutuskan sesungguhnya hadits tersebut hadits hasan
Jelaslah di urutan hadits
selanjutnya yakni hadits ke 1582 ada hadits serupa dari Ibnu Abbas Ra dan
riwayatnya Abu Daud , dan haditsnya adalah hasan bukan dlaif seperti
yang dikatakan sebagian orang
Dari hadits tersebut juga bisa
ditarik kesimpulan bahwa Nabi Mengangkat tangan ketika berdoa dan setelah itu
beliau mengusap wajah dengan kedua tangannya
Adapun mengenai hadits mengangkat
tangan ketika berdoa , disebutkan juga dalam kitab bulughul maram hadits ke
1580 :
« إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ
إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا »
“Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala
adalah maha pemalu lagi maha mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa
dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan
hampa“
Hadits tersebut dari Salman Alfarisi
Jelaslah bahwa berdoa mengangkat
kedua tangan bukanlah bid’ah dan ada hadits nya yakni terdapat di dalam kitab
bulughul maram hal 311.
Wallahu a’lam
Disimpan dalam Fiqih, Hadits Dikaitkatakan dengan ahlussunnah wal jamaah, berdoa mengusap muka, berdoa mengusap wajah, bulughul maram, dalil mengusap wajah setelah berdoa, doa angkat tangan, hadits dlaif, hadits hasan, hadits mengusap muka setelah berdoa, salafy
Di dalam kitab Durratun Nashihin
banyak keterangan menghidupkan malam Nishfu sya’ban, diantaranya :
Diriwayatkan dari ‘Atha bin
Yasar ra :
“Tidak ada satu malam setelah lailatul qadar yang lebih mulia dari malam Nishfu sya’ban”
“Tidak ada satu malam setelah lailatul qadar yang lebih mulia dari malam Nishfu sya’ban”
Sebagian Hukama (Ahli hukum)
mengatakan :
“Sesungguhnya Bulan Rajab untuk minta ampun dari dosa2, Bulan Sya’ban untuk memperbaiki hati dari keburukan2, Bulan Ramadlan untuk menerangi hati, dan Lailatul qadar untuk mendekat kepada Allah”
“Sesungguhnya Bulan Rajab untuk minta ampun dari dosa2, Bulan Sya’ban untuk memperbaiki hati dari keburukan2, Bulan Ramadlan untuk menerangi hati, dan Lailatul qadar untuk mendekat kepada Allah”
Dari Nabi Saw bersabda :
“Keutamaan bulan sya’ban atas seluruh bulan (kecuali Ramadlan) adalah seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan Ramadlan atas seluruh bulan adalah seperti keutamaan Allah atas hamba-Nya”
“Keutamaan bulan sya’ban atas seluruh bulan (kecuali Ramadlan) adalah seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan Ramadlan atas seluruh bulan adalah seperti keutamaan Allah atas hamba-Nya”
Nabi Saw bersabda :
“Allah mengangkat amal-amal hamba-Nya semuanya di bulan ini”
“Allah mengangkat amal-amal hamba-Nya semuanya di bulan ini”
Nabi bersabda :
“Apakah kalian tahu kenapa disebut bulan Sya’ban? ” para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu” Bersabda Nabi :”Karena sesungguhnya bercabang didalamnya kebaikan yang banyak”
“Apakah kalian tahu kenapa disebut bulan Sya’ban? ” para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu” Bersabda Nabi :”Karena sesungguhnya bercabang didalamnya kebaikan yang banyak”
Dari Abu Hurairah Ra berkata :
Bersabda Nabi Saw : Mendatangiku Jibril pada malam Nishfu Sya’ban dan berkata :
“Wahai Muhammad, Malam ini dibuka pintu2 langit dan pintu2 rahmat maka bangunlah dan shalat, angkat kepalamu dan tanganmu ke langit (berdoa) “, Maka aku bertanya :
“Wahai Jibril malam apa ini” , Maka Jibril menjawab : “Ini adalah malam dibukakannya tiga ratus pintu rahmat”
Bersabda Nabi Saw : Mendatangiku Jibril pada malam Nishfu Sya’ban dan berkata :
“Wahai Muhammad, Malam ini dibuka pintu2 langit dan pintu2 rahmat maka bangunlah dan shalat, angkat kepalamu dan tanganmu ke langit (berdoa) “, Maka aku bertanya :
“Wahai Jibril malam apa ini” , Maka Jibril menjawab : “Ini adalah malam dibukakannya tiga ratus pintu rahmat”
Uraian di atas diambil dari kitab
Durratun Nasihin
Bab keutamaan Bulan Sya’ban yang agung , hal 217
karangan Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir
Bab keutamaan Bulan Sya’ban yang agung , hal 217
karangan Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir
Wallahu a’lam
Sunnah
Hai’at Sholat
Adapun
macam-macam sunnah hai’at dalam sholat ada banyak, diantaranya adalah :
- Mengangkat kedua tangan ketika takbirotul ihrom. Ketika melakukan takbirotul ihrom disunnahkan mengangkat kedua tangan sekira-kiranya setara dengan kedua paha tangan. Takbirotul ihrom tanpa mengangkat tangan masih diperbolehkan asalkan niat dan membaca lafadz takbirotul ihrom (allahu akbar).
- Membaca doa iftitah
- Membaca ta’awudz (‘audzubillahi minasy syaitonorrojim)setelah membaca doa iftitah, sebelum mambaca basmallah
- Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri
- Membaca “amin” dan ayat dalam Al-Qur’an setelah membaca fatihah
- Membaca fatihah dan ayat sesudahnya dengan suara keras pada sholat magrib, isya’, dan subuh
- Membaca fatihah dan ayat sesudahnya dengan suara pelan pada sholat dhuhur dan ashar
- Mengangkat tangan ketika ruku’ dan i’tidal (bangun dari ruku’)
- Membaca takbir ketika ruku’, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud, dan bangun dari sujud.
- Membaca lafadz “sami’allahu liman hamidah” ketika bangun dari ruku’
- Membaca kalimat-kalimat atau doa yang dibaca ketika ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk diantara dua sujud
- Duduk istirahat, yakni duduk sejenak ketika bangun dari roka’at pertama dan ketiga
- Meletakkan dan membeberkan kedua tangan diatas paha kaki ketika duduk diantara dua sujud
- Membeberkan tangan kiri dan menggenggam tangan kanan ketika takhiyat (tasyahhud)
- Mengacungkan jari telunjuk ketika membaca syahadat dalam takhiyat atau tasyahhud
- Duduk iftiros, yakni duduk dengan cara menduduki telapak luar kaki kiri dan memancatkan jari kaki kanan pada lantai seperti pada duduk diantara dua sujud, duduk istirahat, dan duduk pada takhiyat awal
- Duduk tawarruk, yakni duduk dengan cara memasukkan kaki kiri kebawah kaki kanan yang sedang memancat seperti duduk pada takhiyat akhir
- Salam kedua, yakni menolehkan kepala ke arah kiri dengan membaca salam.
- Dan lain-lain.
Sunnah
Ab’adh Sholat
Adapun sunnah ab’adh dalam sholat
yaitu, antara lain :
- Takhiyat awal
- Duduk ketika takhiyat awal
- Membaca doa qunut pada sholat subuh dan roka’at akhir sholat witir pada petengahan Bulan Romadlon. Qunut menurut bahasa artinya do’a, jika seseorang membaca ayat Al-Qur’an yang bertema doa dengan niat atau sebagai pengganti doa qunut, maka qunutnya tetap sah.
- Berdiri ketika membaca qunut
- Membaca sholawat ketika qunut, takhiyat awal dan takhiyat akhir.
Semoga Allah menjaga kita semua dalam
lingkaran syari’at dan agama-Nya.
Keterangan
ini diambil dari Kitab Fath’khul Qorib Wal Mujib karangan Syekh Muhammad bin
Qosim Al-Ghozi, Hal. 14, 15,dan 16.
Sunnah Sunnah Hai'at dalam Shalat
Telah kami katakan, hai’at ialah sunnah-sunnah shalat, yang
apabila ditinggalkan maka tidak disunnatkan menggantinya dengan sujud sahwi,
lain halnya sunnah Ab’adh. Sunnah-sunnah Hai’at ringkasnya sebagai
berikut:
1. Mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram, ketika
ruku’, dan ketika bangkit daripadanya
Adapun cara melaksanakan sunnah ini ialah dengan mengangkat
kedua telapak tangan dihadapkan ke kiblat, sedang jari-jari terbuka (tidak
digenggamkan) dan dirapatkan, sehingga kedua ibu-jari setentang dengan cuping
telinga. Al-Bukhari (705), dan Muslim (390) telah meriwayatkan dari Ibnu Umar
RA, dia berkata:
رَاَيْتَ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَفْتَتَحَ التَّكْبِيْرَ فِى الصَّلاَةِ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ يُكَبِّرُ، حَتَّى يَجْعَلُهَا حَذْوَمَنْكِبَيْهِ، وَاِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ فَعَلَ مِثْلَهُ، وَاِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَعَلَ مِثْلَهُ وَ قَالَ: رَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ، وَلاَيَفْعَلُ ذَلِكَ حِيْنَ يَسْجُدُ، وَلاَحِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ
Aku melihat Nabi SAW memulai takbir dalam shalat. Ketika
takbir itu beliau mengangkat kedua tangannya, sampai beliau letakkan keduanya
setentang dengan kedua pundak beliau. Dan apabila bertakbir untuk ruku’ beliau
melakukan seperti itu pula. Dan apabila mengucapkan: “Sami’allahu liman
hamidah” (semoga Allah mendengar orang yang memujiNya), beliau melakukan
seperti itu pula, lalu mengucapkan: “Robbana walakal hamdu” (Ya Tuhan kami, dan
bagi-Mu segala puji). Tetapi beliau tidak melakukan seperti itu ketika bersujud
dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.
2. Meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri
(bersedekap) ketika berdiri.
Caranya, letakkanlah tangan kanan di atas punggung telapak
dan pergelangan tangan kiri, dan genggamlah tangan kiri dengan jari-jari tangan
kanan, dan tempatkan semua itu di antara dada dan pusat. Karena, diberitakan
oleh Muslim (401) dari Wa’il bin Hujr RA:
اَنَّهُ رَاَى اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ....ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Bahwa Wa’il pernah melihat Nabi SAW mengangkat kedua
tangannya ketika memulai shalat,.....kemudian meletakkan tangan kana di atas
tangan kiri. Sedang menurut an-Nasa’i (2/126):
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَالرُّسُغِ وَالسَّعِدِ
Kemudian Nabi meletakkan tangan kanannya di atas telapak,
pergelangan tangan dan lengan tangan kirinya.
3. Memandang kepada tempat sujud.
Jadi, makruh hukumnya memandang liar ke sekeliling, atau ke
atas, atau kepada sesuatu yang ada di depan, sampai Ka’bah sekalipun. Tetapi,
disunnatkan memusatkan pandangan secara terus-menerus kepada tempat sujud,
kecuali ketiak bertasyahud, maka pandanglah kepada jari telunjuk yang
ditunjukkan ketika membaca syahadat.
Adapun dalilnya, karena mengikuti praktek yang dilakukan Nabi
SAW.
4. Memulai shalat sesudah takbir dengan bacaan
Tawajjuh.
Lafazh Tawajjuh, diriwayatkan oleh Muslim (771) dari Ali RA,
dari Rasulullah SAW: Bahwa apabila beliau memulai shalat, maka mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ للَّذِى فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَالاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَااَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى لِلَه رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan Yang telah menciptakan
langit dan bumi secara lurus, dan aku tidaklah tergolong orang-orang
menyekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
terserah kepada Allah Pemilik sekalian alam, tiada syerikat bagi-Nya. dan itulah
yang diperintahkan kepadaku, sedang aku tergolong orang-orang berserah
diri.
Wajjahtu wajhi: aku menghadapkan wajahku. Maksudnya, ibadatku
aku tujukan.
Fathara: memulai penciptaan.
Hanifan: condong kepada agama yang hak.
Nusuki: ibadatku dan hal-hal yang dengan itu aku mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala.
Membaca tawajjuh mustahab hukumnya, pada permulaan shalat
fardhu maupun sunnah, bagi orang yang shalat sendirian, imam maupun ma’mum,
dengan syarat belum membaca al-Fatihah. Jika sudah muali membacanya –yang anda
tahu bahwa Basmalah itu bahagian dari al-Fatihah-, atau sudah membaca
ta’awwudz, lalu teringat kesunnahan membaca tawajjuh, maka tidak perlu lantas
membacanya, meskipun asalnya lupa.
Membaca tawajjuh tidak dihukumi mustahab pada shalat Janazah,
dan tidak pula pada shalat fardhu, apabila waktuinya sempit, sehingga khawatir
keluar waktu apabila membaca tawajjuh segala.
5. Membaca ta’awwudz sesudah tawajjuh, yaitu ucapan:
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ لشّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang
terkutuk.
Yakni ketika memulai bacaan al-Fatihah. Tetapi, apabila sudah
mulai membaca al-Fatihah, sebelum membaca ta’awwudz, lalu teringat, maka makruh
kembali kepada ta’awwudz.
Tentang sunnahnya membaca ta’awwudz, Allah SWT berfirman:
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S. an-Nahl: 98).
6. Membaca nyaring dan pelan sesuai tempat
masing-masing.
Adapun tempat-tempat yang disunnatkan membaca nyaring ialah:
dua rakaat shalat Shubuh, dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan ‘Isya,
Shalat Jum’at, shlat ‘Idain, shalat Gerhana bulan, shalat Istisqa’, shalat
Tarawih, dan shalat Witir di bulan Ramadhan. Dan semua itu bagi imam dan orang
yang shalat sendirian. Sedang selain itu, disunnatkan membaca pelan. Demikian,
sebagaimana ditunjukkan semua itu oleh hadits-hadits, antara lain yang telah
diriwayatkan oleh al-Bukhari (735), dan Muslim (463), dari Jubair bin Muth’im
RA:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat ath-Thur pada
shalat Maghrib.
Dan juga yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari (733), dan
Muslim (464), dari al-Barra’ RA, dia berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ: وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ فِى لْعِشَاءِ وَمَا سَمِعْتُ اَحَدًااَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ اَوْقِرَاءَةً
Aku mendengar Nabi SAW membaca, “Wa ‘t-Tini wa ‘z-Zaitun”
pada shalat ‘Isya, dan aku tak pernah mendengar seorang pun yang lebih indah
suaranya dari beliau, atau (lebih indah) bacaannya.
Al-Bukhari (739) dan Muslim (449) juga meriwayatkan
pernyataan Ibnu ‘Abbas mengenai kedatangan jin, dan bahwa mereka mendengarkan
al-Qur’an dari Nabi SAW, di mana anara lain dikatakan:
وَهُوَ يُصَلِّى بِاَصْحَابِهِ صَلاَةَ لْفَجْرِ، فَلَمَّا سَمِعُواالْقُرْاَنَ اِسْتَمِعُوالَهُ
Sedang Nabi melakukan shalat Shubuh bersama-sama
sahabat-sahabatnya. Maka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an, jin-jin itu pun
ikut pula mendengarkannya.
Dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (745) dan Muslim (451),
dari Abu Qatadah RA:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِاُمِّ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً مَعَهَا، فِى الرَّكْعَتَيْنِ الاُوْلَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ، وَفِى رِوَايَةٍ: وَهَكَذَايَفْعَلُ فِى الصُّبْحِ
Bahwa Nabi SAW membaca Ummul Kitab (al-Fatiha) dan sebuah
surat lain bersamanya pada dua rakaat yang pertama dari shalat Zhuhur dan
shalat Ashar. Sedang menurut sebuah riwayat lain: Dan demikian pula beliau
melakukan pada shalat Shubuh.
Demikian, di samping hadits-hadits yang lalu mengenai bacaan
yang nyaring.
Dalam pada itu, Abu Daud (823 dan 824), dan an-Nasa’i (2/141)
dan lainnya telah meriwayatkan pula dari ‘Ubadah ibnu ‘sh-Shamit RA, dia
berkata:
كُنَّاخَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ، فَلَمَّاانْصَرَفََ قَالَ: لَعَلَّكُم تَقْرَءُوْنَ خَلْفَ اِمَامِكُمْ قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُوْلُ اللهِ، اِى وَاللهِ، قَالَ: لاَتَفْعَلُوااِلاَّبِاُمِّ الْقُرْاَنِ، فَاِنَّهُ لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْبِهَا، وَفِى رِوَايَةٍ: فَلاَتَقْرَءُوْا بِشَيْئٍ مِنَ الْقُرْاَنِ اِذَا جَهَرْتُ بِهِ اِلاَّبِاُمِّ الْقُرْاَنِ
Kami ada di belakang Rasulullah SAW pada shalat Shubuh. Maka,
nampak beliau kesulitan membaca (serak). Tatkala berlalu, beliau bersabda:
“Barangkali kamu sekalian membaca di belakang imam kamu?” Kata ‘Ubadah: Maka,
kami menjawab: “Ya Rasul Allah, benar, demi Allah”. Nabi bersabda: “Jangan kamu
lakukan, selain (membaca) Ummul Qur’an. Karena sesungguhnya, tidak sah shalat
seseorang yang tidak membacanya.” Sedang menurut suatu riwayat lain: “Maka
janganlah kamu membaca sesuatu dari al-Qur’an, apabila aku membacanya nyaring,
selain Ummul Qur’an”.
Dalam keadaan seorang ma’mum tidak dapat mendengar bacaan
imamnya, maka bagi dia, shalat itu dianggap pelan bacaannya (sirriyah).
Jadi, hadits-hadits di atas menunjukkan , bahwa Nabi SAW
menyaringkan bacaannya, sehingga siapa pun yang hadir dapat mendengarnya.
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan bacaan pelan (sirriy)
pada selain waktu-waktu tersebut di atas, antara lain yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari (731), dari Khabbab RA ketika ditanya oleh seseorang: “Apakah
Rasulullah SAW membaca (surat) pada shalat Zhuhur dan Ashar?” Maka, dia jawab:
“Ya”.
Kami bertanya pula: “Bagaimanakah kalian mengetahui itu?”
Maka, dia jawab: “Dari janggutnya yang bergerak-gerak”.
Dan al-Bukhari (738) dan Muslim (396) juga telah meriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
فِى كُلِّ صَلاَةٍ يَقْرَأُ، فَمَااَسْمَعَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَسْمَعَنَاكُمْ وَمَااَخْفَى عَنَّا اَخْفَيْنَا عَنْكُمْ
Pada setiap shalat, Nabi membaca (Surat). Maka, apa yang
diperdengarkan Rasulullah SAW kepada kami, maka kamipun memperdengarkan
kepadamu. Dan apa yang tidak beliau perdengarkan kepada kami, kami pun tidak
memperdengarkannya kepadamu.
Para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- memang tak pernah
menukilkan tentang bacaan nyaring pada selain waktu-waktu tersebut di atas.
Adapun dalil-dalil dari masing-masing shalat, akan kita pelajari pada babnya
sendiri-sendiri.
Sedang dalam shalat nafilah mutlak di malam hari, bacaan
surat harus pertengahan antara pelan dan nyaring. Karena Allah Ta’ala
berfirman:
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu". (Q.S. al-Isra’: 110)
Dan yang dimaksud shalat di sini ialah shalat malam.
7. Membaca Amin ketika selesai al-Fatihah. Maksudnya, setelah
sampai pada firman Allah Ta’ala, “Wala ‘dh-Dhallin”, maka disusul dengan ucapan
“Amin”.
Membaca Amin, sunnah hukumnya bagi siapa pun yang melakukan
shalat pada shalat apa pun. Shalat yang dikeraskan bacaan suratnya, maka ucapan
Amin ikut keras pula. Dan shalat yang direndahkan bacaan suratnya, ucapan Amin
ikut rendah pula. Sedang ma’mum mengucapkan Amin dengan mengikuti ucapan
imamnya, manakala ia mengucapkan dengan saring.
Sedang arti Amin ialah: kebuilkanlah permohonan kami, ya
Tuhan.
Diriwayatkan al-Bukhari (748) dan Muslim (410), dari Abu
Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا قَالَ اَحَدُكُمْ، وَفِى رِوَايَةٍ عِنْدَ مُسْلِمٍ: فِى الصَّلاَةِ اَمِيْنَ، وَقَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ فِى السَّمَاءِ اَمِيْنَ، فَوَافَقَتْ اِحْدَاهُمَاالاُخْرَى، غُفِرَلَهُ مَاتَقَدََّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila seorang dari kamu sekalian mengucapkan -dan menurut
riwayat lain oleh Muslim: dalam shalat – Amin, sedang para malaikat di langit
mengucapkan pula: Amin, sehingga kedua bacaan itu berbarengan satu sma lain,
maka diampuinilah dosanya yang telah lalu.
Al-Bukhari (747) dan Muslim (410) meriwayatkan pula dari Abu
Hurairah RA, dia berkata:
اذَااَمَّنَ الاِمَامُ فَاَمِّنُوْا، فَاِنَّ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَلَهُ مَاتَقَدََّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila mengucapkan Amin, maka ikutlah mengucapkan Amin.
Karena sesungguhnya, barangsiapa ucapan Aminnya menepati ucapan Amin para
malaikat, maka dia diampuni dosanya yang telah lalu.
Begitu pula, Abu Daud (934) telah meriwayatkan dari Abu
Hurairah RA, dia berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَاتَلاََ: غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالِّيْنَ، حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلْيِهِ مِنَ الصَّفِّ اْلاَوَّلِ
Apabila Rasulullah SAW telah membaca , “Ghairi ‘l-Maghdhubi
‘alaihim Wala ‘dh-Dhallin”, maka mengucapkan: “Amin”, sehingga di dengar oleh
orang yang ada di dekat beliau dari barisan pertama. Dan oleh Ibnu Majjah (853)
ditambahkan:
فَيَرْتَجُّ بِهَا الْمَسْجِدْ ........
Maka bergetarlah masjid karenanya.
8. Membaca sesuatu dari al-Qur’an sesudah al-Fatihah. Oleh
as-Sunnah ditegaskan, supaya membaca suatu surat dari al-Qur’an, sekalipun
pendek, atau membaca tiga ayat berturut-turut.
Adapun letak disunnatkannya membaca sesuatu dari al-Qur’an
ini, pada dua rakaat pertama saja dari semua shalat, yakni bagi imam dan orang
yang shalat sendirian, secara mutlak. Adapun bagi ma’mum, juga disunnatkan
membacanya dalam shalat sirriyah (yang bersuara rendah bacaannya), atau dia
berada jauh dari imam, sehingga tidak dapat mendengar bacaannya.
Dan disunnatkan pula membaca surat-surat Mufashshal yang
panjang, dalam shalat Shubuh dan Zhuhur, seperti al-Hujurat dan ar-Rahman.
Sedang pada shalat Ashar dan ‘Isya’ disunnatkan membaca surat-surat Mufashshal
yang pertengahan, seperti Wa ‘sy-Syamsi Wa Dhuhaha dan Wa ‘l-Laili Idza
Yaghsya. Dan pada shalat maghrib, surat-surat Mufashshal yang pendek, seperti
Qul Huwa ‘l-Lahu Ahad.
Itu semua, karena ada sebuah hadits riwayat an-Nasa’i
(2/167), dari Sulaiman bin Yasar, dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
مَاصَلَّيْتُ وَرَاءَ اَحَدٍ اَشْبَهَ صَلاَةً بِرَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلاَنٍ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَ ذَالِكَ الاِنْسَانِ، وَكَانَ يُطِيْلُ اْلاُوْلَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ وَيُخَفِّفُ فِى اْلاُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ فِى اْلعصْرِ، وَيَقْرَأُ فِى الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِى الْعِشَاءِ بِاالشَّمْسِ وَضُحَهَا وَاَشْباهِهَا وَيَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ بِسُوْرَتَيْنِ
Tak pernah aku shalat di belakang seseorang, yang shalatnya
lebih mirip dengan Rasulullah SAW, daripada Fulan. Kami shalat di belakang
orang itu, sedang dia memperpanjang dua rakaat pertama dari shalat Zhuhur dan
memperpendek (bacaan) pada dua rakaat lainnya. Dan dia perpendek pula pada
shalat ‘Ashar, sedang pada shalat Maghrib dia membaca surat Mufashshal yang
pendek. Dan pada shalat ‘Isya’ dia membaca Wa ‘sy-Syamsi Wa Dhuhaha dan
sejensinya. Sedang pada shalat Shubuh dia membaca dua surat yang panjang.
Dan juga disunnatkan pada shalat Shubuh di hari Jum’at,
membaca; Alif Laam Mim, Tanzil (as-Sajdah) pada rakaat pertama. Sedang pada
rakaat kedua: Hal Ata. Karena, menurut riwayat al-Bukhari (851), dan Muslim
(880), dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى الْجُمُعَةِ، فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ: الم. تَنْزِيْل، اَالسَّجْدَةَ وَهَلْ اَتَى عَلَى الاِنْسَانِ
Adalah Rasulullah SAW membaca pada hari Jum’at ketika shalat
Shubuh: Alif Laam Mim, Tanzil –as-Sajdah, dan Hal Ata ‘ala ‘l-Insan.
Dan disunnatkan pula memperpanjang rakaat yang pertama dari
pada rakaat kedua pada semua shalat. Karena al-Bukhari (725) dan Muslim (451)
telah meriwayatkan:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ......يَطُوْلُ فِى الاُوْلَى وَيَقْصُرُفِى الثَّانِيَةِ
Adalah Nabi SAW.....memperpanjang (bacaan) pada rakaat
pertama dan memperpendek pada rakaat kedua.
9. Takbir ketika berpindah rukun.
Kita telah tahu, bahwa Takbiratul Ihram adalah salah satu
rukun shalat, yang bila tidak dilakukan maka shalatpun tidak sah. Akan tetapi,
apabila anda telah memasuki shalat, yakni telah melakukan Takbiratul Ihram,
maka masih disunnatkan lagi bagi anda bertakbir seperti itu pada tiap kali
berpindah dari rukun kepada rukun yang lain, selain ketika bangkit dari ruku’.
Di sini, sebagai ganti dari takbir, disunnatkan mengucapkan: “Sami’a ‘l-Lahu
liman hamidah, Rabbana laka ‘l-hamdu. Karena menurut riwayat al-Bukhari (756),
dan Muslim (392), dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
كاَنَرَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَاقَامَ اِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُحِيْنَ يَقُوْم وَيُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ: يُكَبِّرُحِيْنَ يُقِيْمُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَاوَلَكَ الْحَمْدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَهْوِى للسُّجُوْدِ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يَفْعَلُ ذلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلَّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا، وَيُكَبِّرُحِيْنَ يَقُوْمُ مِنَ الثِنْتَيْنِ بَعْدَ الْجُلُوْسِِ
Apabila Rasulullah SAW telah siap melakukan shalat, maka beliau
bertakbir ketika berdiri, dan bertakbir ketika ruku’, kemudian mengucapkan:
“Sami’a ‘l-Lahu liman hamidah” (semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya),
ketika menegakkan punggungnya dari ruku’, kemudian mengucapkan seraya berdiri:
”Rabbana laka ‘l-hamdu” (Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji). Sesudah itu,
beliau bertakbir ketika menukik untuk bersujud, kemudian bertakbir ketika
mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika bersujud, kemudian bertakbir
ketika mengangkat kepalanya. Kemudian, beliau melakukan seperti itu lagi dalam
shalat seluruhnya sampai selesai. Dan beliau bertakbir pula ketika bangkit
selepas dua rakaat sesudah duduk.
10. Membaca tasbih ketiak ruku’ dan sujud.
Adapun caranya, ialah dengan mengucapkan, apabila telah
mantap dalam ruku’, sebanyak tiga kali:
سُبْحَانَ رَبِّي الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung; aku mensucikan-Nya seraya
memuji-Nya.
Sedang apabila telah mantap dalam bersujud, maka mengucapkan
tiga kali:
سُبْحَانَ رَبِّي اْلاَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi; aku mensucikan-Nya seraya
memuji-Nya.
Bertasbih seperti ini adalah bertasbih sempurna yang paling
ringan. Dan akan lebih utama lagi apabila lebih dari tiga kali. (Lihat: Ruku’
pada Bab Rukun-rukun shalat)
11. Meletakkan kedua tangan pada ujung paha ketika duduk pada
tasyahud awal dan akhir.
Caranya, telapak tangan kiri terbuka, sedang jari-jarinya
dirapatkan satu sama lain, sehinga ujung-ujung jari bersentuhan dengan ujung
paha. Adapun telapak tangan kanan dikepalkan, selain jari telunjuk, yang
disebut musabbihah (jari penghitung tasbih). Jari ini dijulurkan rendah-rendah
sejak awal tasyahud. Sehingga apabila sampai kepada kata-kata: illa ‘l-Lah,
maka jari ini diangkat, seraya menunjuk kepada tauhid (keesaan Allah). Dan
disunnatkan agar jari musabbihah ini tetap terangkat tanpa digerak-gerakkan,
sampai akhir duduk.
Diriwayatkan oleh Muslim (580), dari Ibnu Umar RA, mengenai
sifat duduknya Rasul SAW, dia berkata:
كَانَ اِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ، وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَقَبَضَ اَصَابِعَهُ كُلَّهَا، وَاَشَرَ بِاِصْبِعِهِ الَّتِى تَلِى اْلاِبَهَامَ، وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
Apabila Rasul duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak
tangan kanannya di atas paha kanannya, dengan mengepalkan seluruh jari-jarinya,
sedang jari-jarinya yang berdekatan dengan ibu-jari beliau tunjukkah. Sedang
telapak tangan kirinya beliau letakkan di atas paha kirinya.
12. Bertawaruk pada duduk yang terakhir, dan beriftirasy pada
duduk-duduk lainnya.
Tawarruk: ialah duduk dengan pantat kiri, sedang telapak kaki
kanan ditegakkan, dan telapak kaki kiri dikeluarkan dari bawahnya.
Dan iftirasy: duduk di atas mata kaki kiri, sedang telapak
kaki kanan ditegakkan pada ujung-ujung jarinya.
Al-Bukhari (794) telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu
Hamid as-Sa’di RA, dia berkata:
اَنَا كُنْتُ اَحْفَظُكُمْ لِصَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....وَفِيْهِ: فَاِذَاجَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى، وَنَصَبَ الْيُمْنَى، وَاِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ اْلاَخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَنَصَبَ اْلاُخْرَى، وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Aku adalah orang yang paling ketat di antara kamu dalam
memelihara shalat (seperti yang dilakukan) Rasulullah SAW.........Dan antara
lain dikatakan pula: Apabila Rasul duduk pada kedua rakaat (yang pertama),
beliau duduk pada telapak kaki kirinya, sedang telapak kaki kanan beliau
ditegakkan. Dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau menjulurkan telapak
kaki kirinya, sedang telapak kaki yang lain beliau tegakkan, dan duduk dengan
pantatnya (menempel di latai).
Qaddama rijlahu ‘l-yusra: menjulurkan kaki kirinya.
Maksudnya, menjulurkannya dari bawah kaki kanan yang telapaknya
ditegakkan.
Menurut riwayat Muslim (579), dari Abdullah bin as-Zubair RA:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا قَعَدَ فِى الصَّلاَةِ جَعَلَ قَدَمُهُ الْيُسْرَى بَيْنَ فَخِذِهِ وَسَاقِهِ، وَفَرَّشَ قَدَمُهُ الْيُمْنَى
Apabila Rasulullah SAW duduk dalam shalat, maka beliau
letakkan telapak kaki kirinya di antara paha dan betisnya (yang kanan), sedang
telapak kaki kanannya beliau jadikan alas duduk.
13. Membaca shalawat Ibrahimiyah, kemudian berdoa, sesudah
tasyahud akhir.
Anda telah tahu pada keterangan lalu, bahwa membaca shalawat
untuk Nabi SAW adalah rukun dalam duduk tasyahud yang akhir. Rukun ini bisa
dilaksanakan dengan ucapan shalawat untuk Nabi SAW yang mana saja. Adapun kalau
yang dipilih shalawat Ibrahimiyah –yang nashnya sudah kita cantumkan di atas-,
itu adalah sunnah.
Apabila telah membaca shalawat, maka disunnatkan memohon
perlindungan dari azab kubur dan dari dari azab neraka, atau berdoa apa saja
untuk diri sendiri, dengan syarat jangan sampai terlampau panjang, melebihi
panjangnya bacaan tasyahud dan shalawat untuk Nabi SAW.
Diriwayatkan oleh Muslim (558), dari Abu Hurairah RA, dia
berkata: Sabda Rasulullah SAW:
اِذَا فَرَغَ اَحَدُكُمْ مِنَ التَشَهُّدِ اْلاَخِرِ فَلْيَتَوَّذْ بِاللهِ مِنْ اَرْبَعٍ، مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالْ
Apabila seorang dari kamu sekalian selesai membaca tasyahud
akhir, maka hendaklah memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara:
dari azab Jahanam, dari azab kubur, dari bencana hidup dan mati, dan dari
kejahatan al-Masih Dajjal.
14. Mengucapkan salam yang kedua.
Telah kami katakan, bahwa mengucapkan salam yang pertama
adalah rukun, yaitu salam yang disertai menengok ke sebalah kanan. Apabila
salam yang pertama ini telah dilakukan, maka selesailah sudah rukun-rukun dan
kewajiban-kewajiban shalat. Hanya saja, masih disunnatkan pula menambah salah
satu kali lagi, sambil menengok ke sebelah kiri.
Muslim (582) telah meriwayatkan dari Sa’ad RA, dia berkata:
كُنْتُ اََرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى اَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ
Pernah aku melihat Rasulullah SAW mengucapkan salam ke
sebelah kanannya dan ke sebelah kirinya, sampai aku dapat melihat pipi beliau
yang putih.
Sementara itu, Abu Daud (9960 dan lainnya, meriwayatkan pula
dari Ibnu Mas’ud RA:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ: اللهِ
Bahwasanya Nabi SAW mengucapkan salam ke sebelah kanannya dan
ke sebelah kirinya, sehingga terlihat pipi beliau yang putih: “As-Salamu
‘alaikum Wa Rahmatu ‘l-Lahi; As-Salamu ‘alaikum Wa Rahmatu ‘l-Lahi”
At-Tirmidzi mengatakan, hadist Ibnu Mas’ud ini hadits hasan
shahih.
15. Senantiasa khusyu’ sepanjang shalat.
Khusyu’ artinya: kesadaran hati akan apa yang diucapkan oleh
lidah, seperti bacaan-bacaan, dzikir-dzikir dan doa-doa. Yakni, dengan
memikirkan semua itu dan memperhatikan ma’na-ma’nanya, serta merasa bahwa
dirinya sedang berbicara dengan Tuhannya Yang Mah Suci lagi Maha Tinggi.
Yang benar, bahwa khusyu’, dengan pengertian seperti ini,
dalam salah satu bagian dari shalat, adalah hal yang tidak bisa tidak, mesti
dilakukan. Dalam arti, apabila seluruh shalat diliputi dengan kelalaian, sejak
awal sampai akhir, maka shalat itu batal. Adapun khusyu’ secara terus menerus
pada semua bagaian-bagian shalat, adalah sunnah yang membuat shalat menjadi
sempurna.
Muslim (228) telah meriwayatkan dari ‘Utsman RA, dia berkata;
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مامِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وُرُكُوْعَهَا، اِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَالَم يُؤْتِ كَبِيْرَةً، وَذَلِكَ الدَّهْرَكُلُّهُ
Tidak seorang muslim pun yang kedatangan shalat fardhu, lalu
dia melaklukan wudhu’, khusyu’ dan ruku’ dengan baik, kecuali shalat itu
merupakan penebus dosa-dosa sebelumnya, selagi dia tidak melakukan dosa besar.
Dan itu berlaku sepanjang umur.
Kabirah: dosa besar, seperti jual-beli riba, meminum khamar
dan lain-lain.
Wa dzalika ‘d-Dahra kullahu: dan itu berlaku sepanjang umur.
Maksudnya, penebusan dosa-dosa kecil dengan jalan shalat, berlaku terus-menerus
sepanjang umur, karena shalat itu pun berulang kali setiap hari. Sunnah-sunnah
tersebut di atas, seluruhnya disebut Hai’at. Maksudnya, kalau seseorang tidak
melakukan salah satu di antaranya, maka tidak disunnatkan menggantinya dengan
Sujud Sahwi. Lain halnya bagian yang pertama, yaitu sunnah-sunnah yang disebut Ab’adh.
Sunnah jenis ini, apabila ditinggalkan salah satu di
antaranya, maka disunnatkan menggantinya dengan Sujud Sahwi.
Sunnah-Sunnah (Haiat) Dalam Shalat
Dikutib dari kitab Matan at Taqrib karya Abu Syuja’ Bab Sunnah Haiat,Sunnah haiat adalah amalan sunnah dalam shalat yang apabila terlupa tidak perlu dilakukan sujud sahwi. Sunnah haiat dalam mengerjakan shalat ada lima belas, yaitu:
1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, dan i’tidal.
Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, dan i’tidal merupakan sunnah haiat. Bukhari (705) dan Muslim (390) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata,

“Saya melihat Rasulullah Saw membuka shalat dengan takbir. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir sehingga keduanya sejajar dengan kedua bahu. Jika bertakbir untuk ruku’, beliau melakukan semisalnya. Jika mengucapkan sami’alldhu liman hamidahu, beliau melakukan semisalnya dan mengucapkan Rabbana lakal hamdu. Beliau tidak melakukannya ketika sujud dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.”
2. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.

Dasar meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (401)
dari Wail bin Hijr ra bahwa dia melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika melakukan shalat, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
3. Membaca doa iftitah.
Mengenai membaca doa iftitah, Muslim (771) meriwayatkan dari Ali ra, dari Rasulullah saw. Apabila mendirikan shalat, beliau mengucapkan,

Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku aku serahkan kepada Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku termasuk orang yang berserah diri.
4. Membaca ta’awudz
Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS.16:98)
5. Mengeraskan bacaan ketika shalat jahr dan memelankan bacaan ketika shalat sirr.
Bacaan dikeraskan dalam shalat subuh, dua rakaat pertama shaalt maghrib, isya’, shalat jum’at, shalat idul Fitri, shalat Idul Adha, shalat khusuf (gerhana bulan), shalat istisqa’, shalat tarawih, shalat witir pada bulan ramadlan, serta dua rakaat thawaf pada malam hari dan waktu subuh.
Shalat sunnah muthlaq pada malam hari,bacaannya pertengahan antara sirr dan jahr. Allah swt berfirman,
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”.(QS.17:110)
Yang dimaksud shalat dalam ayat di atas adalah shalat malam. Selain shalat-shalat yang disebutkan, maka dilakukan dengan sirr (bacaan pelan). Hal itu ditunjukkan oleh berbagai hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (735) dan Muslim (463)
dari Jabir bin Muth’irn ra, dia berkata, “saya mendengar Rasulullah saw membaca surat Ath-Thur ketika shalat Maghrib.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (733) dan Muslim (463)
dari Al-Barra’ bin ‘Azib ra, dia berkata, “Saya mendengar Rasuiullah g membaca surat At-Tin ketika shalat Isya’. Saya tidak pernah mendengar seorang pun yang lebih baik suara dan bacaannya selain dia.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (739) dan Muslim (449) dari hadits lbnu Abbas ra tentang kehadiran jin. Mereka mendengar Al-Qur’an dari Nabi saw. Di dalam kisah ini disebutkan, “Beliau mengerjakan shalat Subuh bersama para sahabatnya. Tatkala rnendengar Al-Qur’an, mereka diam memperhatikannya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw mengeraskan bacaannya sehingga orang yang hadir bisa mendengar bacaannya. Hadits yang menunjukkan bacaan sirr pada selain shalat yang disebutkan tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (713)
dari Khabbab ra bahwa seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Rasulullah saw membaca bacaan ketika shalat Dhuhur dan Ashar?” Dia rnc’njawalb, “Ya.” Orang tadi bertanya lagi, “Dengan apa kalian mengetahui hal itu?” Dia menjawab, “Dari gerakan jenggotnya.”
Bukhari (738) dan Muslim (396) meriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Dalam setiap shalat beliau membaca. Apa yang Rasuiuilah saw perdengarkan kepada kami, rnaka karni memperdengarkannya kepada kalian. Apa yang dipelankannya, rnaka kami juga memelankannya kepada kalian.”
Para sahabat ra, tidak rneriwayatkan bacaan jahr pada selain posisi-posisi itu
6. Membaca amin.
Mengenai membaca amin, Abu Dawud (934) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Jika Rasulullah saw membaca,

beliau mengucapkan amin sehingga orang yang berada di shaf pertama mendengarnya.”
Ibnu Majah (853) menambahkan, “Masjid pun bergaung karenanya”
Bacaan amin juga disunnahkan kepada makmum yang dilakukan setelah imam. Imam Bukhari (749) dan Muslim (410) meriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika imam mengucapkan,
maka ucapkanlah amin.” Barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, diampunilah dosanya yang telah berlalu.”
Dalam riwayat Abu Dawud (936), “Jika imam mengucapkan amien, maka ucapkanlah juga amien.”
7. Membaca surat lain setelah membaca Al-Fatihah.
Membaca surat lain setelah Al Fatehah adalah pada dua rakaat pertama. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (745) dan Muslim (451)
dari Abu Qatadah ra bahwa Nabi saw membaca Al Fatehah dan surat lainnya pada dua rakaat pertama shalat Dhuhur dan shalat Ashar. Dalam riwayat lain disebutkan, “Begitu juga yang beliau lakukan ketika shalat Subuh.”
Makmum tidak membaca selain Al-Fatihah dalam shalat jahriyah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (832, 824), Nasa’i (2/741), dan selain keduanya
dari Ubadah bin Ash-Shamit ra, dia berkata, “Kami berada di belakang Rasulullah saw ketika shalat Subuh. Beliau rnembaca surat panjang. Tatkala selesai, beliau bersabda, ‘Baranghali kalian ikut membaca bacaan imam kalian?”‘ Ubadah rnelanjutkan, “Kami berkata, Ada apa, demi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Jangan melakukannya kecuali untuk Ummul Qur’an (yaitu Al-Fatihah). Sesungguhnya tidak” dianggap shalat bagi orang yang tidak membacanya.”
Dalam riwayat lain, “Janganlah membaca bagian apapun dari Al-Qur’an jika saya menjahrkannya kecuali Ummul Quran (AI-Fatihah).”
8. Bertakbir ketika hendak ruku’ dan bangun dari ruku’.
Mengenai bertakbir ketika hendak ruku’ dan bangun dari ruku’, Bukhari (752) danMuslim (392) meriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, bahwa dia mengerjakan shalat bersama orang-orang. Dia bertakbir setiap kali ruku’ dan bangun dari ruku’. Tatkala selesai, dia berkata , “Saya adalah orang yang paling mirip shalatnya di antara kalian dengan Rasulullah saw.”
9. Mengucapkan ketika i’tidal

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw jika bangkit hendak shalat, beliau membaca takbir waktu berdiri, dan membaca takbir ketika hendak ruku’, lalu beliau membaca: “Sami’allahu limanhamidah”, ketika mengangkattulang punggungnya dari ruku’, kemudian membaca:”Rabbana lakal hamdu” sambil berdiri, lalu beliau takbir ketika hendak sujud, lalu takbir ketika mengangkat kepalanya, lalu takbir ketika akan sujud, lalu takbir ketika bangkit, kemudian beliau berbuat demikian dalam shalat seluruhnya; dan beliau takbir ketika bangkit dari duduk (tahiyat) dari dua rakaat”. [Bukhari, Muslim]
10. Membaca tasbih dalam ruku’ dan sujud.
Mengenai membaca tasbih dalam ruku’ dan surjud, Muslim (772) dan selainnya meriwayatkan
dari Hudzaifah ra, dia berkata, “Pada suatu malam saya shalat bersama Rasulullah saw.” Dalarn hadits ini lalu disebutkan, “Kemudian beliau ruku’ dan mengucapkan

kemudian sujud dan mengucapkan

11. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha ketika duduk.
Mengenai meletakkan kedua tangan di atas kedua paha ketika duduk, Muslim (580) meriwayatkan
dari Ibnu Umar ra tentang cara duduk Nabi saw. Dia berkata, “Jika duduk dalarn tahiyat, beliau rneletakkan telapak tangan kirinya di atas paha (lutut) kirinya, dan yang kanan di atas paha (lutut) kanannya, dan menggenggam seluruh jari-jarinya serta memberi isyarat dengan telunjuknya. “
12. Menggenggam jari-jari tangan kanan, kecuali jari telunjuk dalam bertasyahhud, dan mengembangkan jari-jari tangankiri.
13. Duduk iftirasy dalam semua duduk.

14. Duduk tawarruk pada saat duduk terakhir.

Dasar duduk tawaruk pada saat duduk terakhir adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (794)
dari Abu Humaid As-Sa’idy ra, dia berkata, “Saya adalah orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah saw.” Lalu disebutkan, “Jika duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Jika duduk pada rakaat terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya, menegakkan kaki yang lainnya dan duduk di atas pantatnya.”
Mengedepan kaki kirinya, artinya di bawah kaki kanannya yang ditegakkan. Muslim (579) meriwayatkan dari Abdullah bin Az-Zubair ra,
”Jika Rasulullah saw duduk dalam shalat, beliau meletakkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya serta membentangkan kaki kanannya. “
15. Melakukan salam kedua.
Mengenai salam kedua, Muslim (582) meriwayatkan
dari Sa’ad ra , dia berkata, “Saya melihat Rasulullah saw mengucapkan salam ke arah kanan dan kirinya sehingga saya rnelihat putih pipinya.” Abu Dawud (996) dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa Nabi saw mengucapkan salam ke arah kanan dan kirinya sehingga terlihatlah putih pipinya, Assalamu’alakum warahmatullah, Assalamu’alakum warahmatullah.”
Tirmidzi mengatakan (295), “Hadits Ibnu Mas’ud ini adalah hadits hasan shahih.
.
Sumber: Matan al Ghayah wa at Taqrib, karya al Imam Abu Syuja’. versi terjemah Fikih Islam Lengkap, penjelasan hukum-hukum islam madzab syafi’i, Dr. Mustafa Diib al Bugha, Media Dzikir, Solo, 2010.
Sepintas tentang pengarang,
Al Imam Abu Syuja’ dengan nama lengkap Abu Syuja’ Ahmad ibn Husain ibn Ahmad al Ashfihani, lahir tahun 433 H di kota Ashfihan, salah satu kota penting di Iran yang banyak disinggahi para ulama ketika itu, sehingga ilmu pengetahuan dan agama berkembang pesat di sana.
Tercatat usianya sangat panjang, sampai 160 tahun, karena lahir 433 H dan wafat tercatat pada tahun 593 H. Demikian dikatakan di dalam kitab al Bujairimi I hal 12. Tentang tahun wafatnya, terdapat perbedaan pendapat di antara ahli-ahli sejarah. Kitab Kasyfuz Zhunun mengatakan, beliau wafat tahun 488 H, demikian juga Ensiklopedi Umum (Indonesia) menerangkan wafat beliau pada tahun 488 H.
Tetapi dalam Daeratul Ma’arif al Islamiyah, karangan beberapa Orientalis mengatakan bahwa tahun wafatnya tidak dikenal, dan tercatat pada tahun 500 H beliau masih hidup. Dan di dalam kitab al Bujairimi dikatakan bahwa usia beliau sangat panjang, sampai 160 tahun, sehingga wafatnya adalah pada tahun 593 H. Ada kemungkinan bahwa beliau ini menghilang dari negerinya Ashfihan pada tahun 488 H, sehingga orang menyangkanya beliau tmeninggal. Orang tidak tahu bahwa beliau mengasingkan diri menjadi pelayan Masjid Madinah sampai wafatnya pada tahun 593 H.
Abu Syuja’ adalah seorang ulama saleh dan zuhud. Tidak keluar dari rumahnya sebelum mengerjakan shalat sunnah dua rakaat dan membaca beberapa ayat al Qur’an. Ketika menjadi Wazir (qadli), ia sangat pemurah. Diangkatnya 10 orang pembantunya untuk membagi-bagikan hadiah dan sedekah, terutama sekali untuk ahli-ahli ilmu. Kemudian di akhir usianya menjadi sangat zuhud, dilepaskannya seluruh hartanya dan pergi ke Madinah al Munawarah untuk menjadi pelayan, tukang bersih lantai, dan bertugas menyalakan lampu di Masjid Madinah.
Beliau meninggal di Madinah dan dimakamkan di ruangan mushala yang dibuatnya dekat masjid Madinah di samping “pintu Jibril”.
Sebuah kitabnya yang sangat terkenal di tanah air adalah kitab fikih bermadzab Syafi’i yang berjudul “Matan at Taqrib” atau “Matan Abi Syuja’” atau “Gayatul Taqrib”. Ini adalah sebuah kitab fikih syafi’i kecil untuk klas-klas permulaan. Banyak kitab-kitab lanjutan yang mensyarah kitab Taqrib ini. Tercatat, Al Iqna (al Iqna fi hil alfadz abi syuja’) karya khatib Syarbini (w. 977 H). Al Bujairimi ‘alal khatib karya syaikh Sulaiman al Bujairimi (w. 1221 H). Kifayatul Akhyar fii hili Gayatil Ikhtisar, karya Taqiyudin Abu Bakar ibn Muhammad al Hasani ad Dimyaqi (w. 829 H). Itu semua adalah kitab-kitab syarah untuk Matan at Taqrib karya al Imam Abu Syuja’. Juga kitab asli yang dikutib di sini, “At Tadzhib fi Adillat Matan al Ghayat wa at Taqrib al Masyhur bi Matan Abi Syuja’ fi al Fiqh Asy Syafi’i”, karya Dr. Mustafa Diib al Bugha (versi terjemahan bahasa Indonesia dengan judul “Fikih Islam Lengkap, penjelasan hukum-hukum Islam madzab Syafi’i).
wallahu a’lam.
.
Tentang al Imam Abu Syuja disadur dan ditulis kembali dari sumber utama
Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, KH Siradjudin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1977.
Sunah
ab’adh adalah perkara yang disunahkan
dalam shalat, dan apabila meninggalkannya (baik disengaja maupun tidak), sunah
melakukan sujud sahwi, untuk mengganti kekurangan tersebut. Dinamakan ab’adh
(sebagian), karena apabila meninggalkannya, sangat dianjurkan mengganti dengan
sujud sahwi, jadi hampir sama dengan fardhu shalat, apabila senganja
ditinggalkan dapat membatalkan shalat, walaupun ketika meninggalkan fardhu
shalat tidak wajib diganti dengan sujud sahwi.
Sunah
ab’adh ada delapan, yaitu:
- Tasyahhud Awal.
- Duduk pada saat tasyahhud awal.
- Kunut yang tetap, seperti kunut shalat Subuh dan kunut shalat witir pada setengan terakhir bulan Ramadhan. Bukan seperti kunut naazilah, karena kunut naazilah tersebut disunahkan apabila ada musibah saja, selain itu tidak disunahkan.
- Berdiri pada saat kunut.
- Membaca shalawat setelah tasyahhud awal.
- Membaca shalawat setelah kunut.
- Membaca shalawat kepada keluarga Nabi setelah tasyahhud akhir.
- Membaca shalawat kepada keluarga Nabi setelah kunut. [1]
Sunah
haiat adalah perkara yang disunahkan
dalam shalat, dan apabila meninggalkannya tidak disunahkan melakukan sujud
sahwi.
Sunah
haiat ada lima belas, yaitu:
- Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ingin melakukan rukuk, dan bangun dari rukuk.
- Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, kemudian diletakkan di atas pusar.
- Membaca do’a Iftitah
- Membaca Ta’awudz setelah membaca do’a iftitah.
- Mengeraskan suara pada tempatnya, seperti dalam shalat shubuh, dua rakaat pertama dalam shalat maghrib dan isya’, jum’at dan shalat hari raya.
- Memelankan suara pada tempatnya, selain conto di atas.
- Membaca amin.
- Membaca surat setelah fatihah.
- Membaca Takbir ketika ingin melakukan rukuk dan berdiri dari rukuk.
- Membaca Sami’allahu Liman Hamidah dan membaca Rabbana lakal hamdu ketika sudah tegak berdiri.
- Membaca tasbih pada saat rukuk, minimal membaca: Subahana rabbiyal ‘adzimi 3x, dan membaca tasbih pada saat sujud, minimal membaca: Subahana rabbiyal a’la 3x.
- Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha, pada saat duduk tasyahud awal dan akhir, serta membentangkan tangan kiri dan mengenggam tangan kanan, kecuali jari telunjuk dibuat isyarah ketika membaca: Illallah
- Duduk Iftirasy[2] dalam semua duduk yang ada dalam shalat, kecuali duduk yang terakhir.
- Duduk tawarruk dalam duduk terakhir.[3]
- Salam kedua.
[1]
Duduk ketika membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. dalam tasyahhud awal, duduk
ketika membaca shalawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir dan
berdiri ketika membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. dan keluarganya dalam kunut,
juga termasuk sunah ab’adh, maka sunah ab’adh ada 12.
[2]
Duduk iftirasy adalah: mata kaki kiri yang luar diletakkan di atas bumi,
kemudian didudukin, serat telapak kaki kanan didirikan, dan jari-jarinya
diletakkan kebumi mengahadap kibalat.
[3]
Duduk tawarruk sama dengan duduk iftirasy, tapi kaki yang kiri
dikeluarkan kea rah kanan, dan pantat langung duduk di atas bumi.
+ komentar + 1 komentar
kenapa yg diab'adlkan ya
Posting Komentar